“Tifa Merawat Luka”: Catatan Kuratorial Pameran Tunggal Tifa Nur Hamidah

Tifa Nur Hamidah memandu pengunjung pameran “Tifa Merawat Luka” (Dokumentasi Tifa Nur Hamidah & Ruang Atas)

Tulisan ini merupakan catatan kuratorial pameran tunggal Tifa Nur Hamidah dengan judul “Tifa Merawat Luka” yang diselenggarakan di Ruang Atas pada Jum’at-Minggu, 1-3 Maret 2024.

***

Kita mengartikan cantik di masa kini sesuai arahan industri. Iklan pasta gigi dengan jargon putih tak berlubang, minuman pelangsing untuk badan ideal, hingga krim kecantikan menuju halus-mulus-putih kulit idaman. Di kisah kali ini tokoh kita adalah Tifa, yang melihat dirinya namun ada yang tak sama: ‘luka’. Luka yang diyakininya tak akan hilang walau ditelan masa. Yang kemudian menimbulkan tanya, apa memang punyai luka berarti cela? Merenung pun dilakukan, diiring semangat dari para terkasih yang senantiasa menjadi teman. Sampai pada Tifa menyimpulkan jawabannya.

“Bukankah kecut, jika cemas karena luka lalu abai dan kemudian lari? Memang kenapa kalau berluka, jika justru bisa menumbuh-suburkan harapan-harapan? Lalu kenapa tak kurawat saja luka-luka ini?”

Pada pameran kali ini, kami merespon ruang depan di Galeri Ruang Atas dalam konsep studio visit agar Tifa dapat menyediakan diri untuk dikunjungi saat berproses. Ruang diatur sedemikian rupa supaya menjadi nyaman sebagaimana tempat Tifa bekerja. Pengunjung dapat mengamati proses ide menjadi karya dilengkapi dengan kesempatan bertanya jawab.

Pada awalnya, luka memang menjadi rasa cemas bagi Tifa, namun kemudian ia menerima dan memilih untuk merawatnya. Rollo May dalam “The Courage To Create” (1957) berpendapat bahwa menjadi kreatif memanglah memerlukan keberanian untuk menghadapi kecemasan. Di lain sisi, Søren Kierkegaard, Friedrich Nietzsche, Albert Camus dan Jean-Paul Sartre sepakat dalam mendefinisikan keberanian sebagai ‘kesanggupan untuk terus ke depan walau harus berhadapan dengan putus asa’.

Tifa memang banyak membaca lukanya sebagai ide dalam berkarya. Namun, tak seperti bagaimana luka dipresentasikan pada umumnya; warna-warna yang dipilih tak kemudian gelap, kusam maupun runyam. Malahan hadir nuansa indah, syahdu dan bagi saya justru sangatlah ‘puitik’. Rasa yang diterima pun tak lagi bicara kesakitan, melainkan keindahan dan tumbuh-suburnya harapan.

Pemilihan simbol-simbol yang melengkapi penggambarannya pun bagi saya cukup sederhana, namun tetap on point. Bunga Cantigi lengkap dari batang, daun, bunga hingga buahnya; Juga sesekali visual jeruk yang muncul dalam karya-karyanya. Secara personal, Tifa tak menyukai jeruk dalam bentuknya sebagai buah; namun tetap menikmati berbagai hidangan yang terbuat dari olahan. Begitulah dalam melihat asal muasal lukanya; tapi kemudian menerima segala sesuatu yang terjadi berikutnya.

“Tifa ingin terus merawat lukanya. Jika kali ini sebatas pada kaki tangannya, bagian tubuh yang lain sedang menunggu waktu untuk ikut menyapa. Baginya, luka tak lagi menjadi cela; namun semangat untuk menua dengan bahagia. Bukankah itu yang selalu kita coba?”

Surakarta, 1 Maret 2024
Reno Abdurrahman

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak