Tipografi dalam Brand Identity


Artikel ini diterbitkan dalam rangka mendukung materi dengan judul sama yang dipresentasikan pada DKV ACT 7 talkshow: ‘Road to TypeFest with Surakarya’. Materi disampaikan oleh Reno Abdurrahman bersama dengan materi berjudul ‘Managing Foundry and Workflow’ oleh Fadhl dari Schrift Labor dan dimoderatori oleh Wisnu Adhi Kusuma dari Rest Area 53B.

***

Gojek luncurkan identitas baru pada tahun 2019. Sejumlah pihak melempar kritik untuk identitas baru tersebut dengan alasan logonya yang terlalu generik. Namun, melihat logo tanpa melihat aspek lain pada rebranding Gojek sepertinya menjadi sayang. Nyatanya, tim Gojek Design menggarap rebranding ini dengan sangat lengkap. Standar yang tak hanya untuk logo, tapi juga warna, tipografi, komposisi, gaya bahasa, logo produk, fotografi, ikon, ilustrasi hingga identitas suara. Kombinasinya yang sistematis dan diaplikasikan secara konsisten hingga kini menjadi kesatuan yang kemudian terlihat ‘Gojek banget’.

Tipografi menjadi salah satu elemen dalam rebranding Gojek. Seberapa penting perannya dalam membangun identitas? Mari kita pelajari!

Kekuatan Tipografi dalam Identitas

Teks memiliki kekuatan untuk menyampaikan pesan secara gamblang mengingat tipografi dapat mendukung bagaimana hirearki informasi bekerja. Tipografi menjadi pondasi inti dari sistem identitas yang efektif. Orang bisa saja tidak pernah mendengar nama Maison Neue, tapi dengan perpaduan warna dan tata letak yang khas orang bisa mengenalnya sebagai identitas Gojek. Begitu pula dengan brand-brand lain yang juga menerapkan tipografinya dengan konsisten dari waktu ke waktu, tipografi adalah bagian dari identitas brand itu sendiri. Citra brand yang terpadu dan menyatu tidak mungkin terjadi tanpa tipografi yang berkarakter dan memiliki tingkat keterbacaan yang baik. Ia juga harus berkelanjutan tanpa terpengaruh oleh tren.

Tipografi sendiri bekerja secara visual. Jika konteksnya adalah branding dan ada nilai yang ingin disampaikan, maka menyampaikan nilai saja tidak akan cukup. Masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan secara terpadu bagi para pengelola bisnis untuk menjadikan nilai-nilai itu terlihat nyata. Para pengelola sendiri yang membangun reputasi untuk membuat identitas dan nilai-nilai itu serasi.

Tipografi sebagai Identitas

Merancang standar tipografi dan menggunakannya secara konsisten bertujuan untuk membuat jenis huruf tertentu identik dengan sebuah brand. Harapannya, jenis yang digunakan dapat mewakili brand dalam menyampaikan nilai-nilainya. Kesesuaian gaya huruf dengan citra yang ingin dicapai menjadi penting untuk diperhatikan sehingga orang dapat menangkap nilai-nilai tersebut tanpa perlu diceritakan secara eksplisit. Bayangkan saja jika sebuah kampanye kesehatan dari institusi pemerintahan alih-alih menggunakan font yang rapi justru menggunakan font eksperimental yang digunakan dengan dalih tren. Keduanya hanya akan terbaca seperti dua hal yang terpisah satu sama lain, menyampaikan dengan caranya sendiri-sendiri.

Huruf disinyalir sudah lebih dahulu digunakan sebagai identitas (S.P.Q.R Kekaisaran Romawi, 27 SM — 476 M) daripada gambar. Istilah logotype sendiri juga lebih tua (1810–1840 M) daripada logo (1937) yang merupakan singkatan dari logotype itu sendiri. Disebut logotype karena pada saat itu kebanyakan brand menggunakan tulisan yang nama atau inisialnya sebagai identitas pengenal. Seiring berjalannya waktu, perancang identitas menambahkan gambar untuk menjadi unsur pembeda sehingga bentuk logo semakin variatif.

Hingga saat ini, banyak brand yang menggunakan logotype sebagai identitas utamanya. Sebut saja Kementerian BUMN, yang terlepas dari kontroversi perubahan logonya menggunakan huruf dalam identitasnya secara dominan. Logo-logo stasiun televisi swasta juga banyak menggunakan logotype. VOC yang pernah melakukan aktivitas dagang cukup lama di wilayah Indonesia juga menggunakan simbol yang dibentuk dari tiga huruf inisialnya. Gaya logo VOC yang menggunakan beberapa huruf untuk membentuk satu simbol baru disebut dengan 'monogram'.

Meskipun huruf seringkali digunakan secara dominan seperti pada logotype, pemilihan typeface pada sebuah brand identity tidak perlu sama dengan gaya huruf yang ada pada logo. Pemilihan typeface hanya perlu disesuaikan dengan logo agar sifatnya mendukung dan melengkapinya. Beberapa brand bahkan menggunakan standar yang berbeda untuk desain secara umum, website dan keperluan software pengolah kata seperti Microsoft Word. Hal tersebut dikarenakan tidak semua font mendukung ketiganya sekaligus. 

Membangun Standar Tipografi untuk Identitas

Sebuah typeface dipilih karena keterbacaan, keunikan dan kesesuaian ukurannya baik tinggi, lebar maupun ketebalannya. Jumlah typeface yang digunakan dalam satu standar tipografi milik masing-masing brand berbeda. Desainer dapat mengkombinasikan beberapa jenis huruf seperti serif dengan sans-serif, menggunakan satu family atau malah menggunakan satu font saja. Jumlah tersebut perlu dipertimbangkan, mengingat tiap font memiliki lisensinya masing-masing. Jika yang dipilih adalah font berbayar, memilih lebih dari satu font tentu berpotensi menghabiskan lebih banyak ongkos.

Lalu, apa saja yang perlu diperhatikan desainer saat menentukan standar tipografi? Alina Wheeler dalam Designing Brand Identity menyebutkan setidaknya sepuluh kriteria yang mengindikasikan typeface yang baik untuk sebuah brand:

  1. Menimbulkan kesan yang sesuai serta mencerminkan positioning,
  2. Mampu digunakan dalam berbagai kebutuhan aplikasi,
  3. Bekerja dalam berbagai ukuran,
  4. Tampil maksimal dalam warna hitam dan putih,
  5. Berbeda dari kompetitor,
  6. Selaras dengan logo,
  7. Terbaca,
  8. Berkarakter,
  9. Berkelanjutan dan tidak terpengaruh tren,
  10. Merefleksikan budaya yang ada pada brand.

Setelah menentukan, desainer yang jeli akan menguji standar tipografi yang ia buat secara detail bahkan hingga numerals dan bullets. Beberapa industri juga memiliki standar tertentu dalam penggunaan tipografi baik untuk produk maupun media komunikasi. Sesuatu yang penting untuk diperhatikan desainer.

Huruf Kustom dalam Brand Identity

Geliat perkembangan industri font di Indonesia belakangan cukup meningkat. Menemukan produk font buatan warga Indonesia di marketplace bukan lagi hal yang sulit. Hal tersebut dikarenakan banyak yang memutuskan untuk berkarir di dunia tipografi. Dari kreator yang sebatas menjajakan font-font display hingga foundry yang memang menyediakan layanan pembuatan font secara lebih lengkap.

Tokotype misal, adalah foundry dibalik custom font dari beberapa brand di Indonesia. GoTo Sans milik GoTo, Jenius Sans milik BTPN Jenius, TR Grotesk milik Thinking*Room, Fabelio Sans milik Fabelio, serta yang masih hangat Plus Jakarta Sans milik +Jakarta, sebuah portal milik Pemprov DKI untuk mengajak warganya berkolaborasi membangun Jakarta. Projek Agni di Bandung juga meluncurkan Pertiwi, sebuah typeface yang dibuat untuk keperluan internal dan mewakili brand mereka sebagai ‘design and branding artisan’.

Ada beberapa alasan mengapa custome font menjadi pilihan. Kewenangan penuh adalah tentu yang utama, di mana kepemilikan sendiri atas sebuah typeface memudahkan brand untuk menyesuaikan dengan identitasnya, berkarakter dan tidak di temukan kemiripan pada kompetitor, serta yang pasti secara legalitas aman untuk digunakan.

***

Sebagai penutup, menentukan sistem tipografi dalam identitas seperti halnya diagram venn: ada hal-hal yang perlu diperhatikan dari keduanya. Untuk itu, penting bagi desainer memperhatikan kaidah-kaidah baik tipografi maupun brand identity. Semakin desainer memperhatikan keduanya, semakin tinggi kemungkinan sistem identitas untuk bekerja.

***

Teman-teman bisa memberi dukungan untuk Text Context lewat saweria.co/textcontextid.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak